Al-wajibat aktsaru minal awqat. Kewajiban kita lebih banyak
dari waktu yang tersedia. Ini fakta tak terbantahkan. Terutama karena
kita selalu mengkorelasikan kata “kewajiban” dalam bingkai dakwah. Yang
segera tergambar adalah rentetan amal yang melampaui usia manusia, dan
bahkan sambung menyambung lintas generasi.
Di titik inilah, Imam Syahid Hasan Al bana memberikan penyadaran, “wahai pemuda, jadilah kalian kaum yang senang beramal, bukan senang berjidal”,
serunya.
Lebih serius lagi, ketika amal tidak sebanding dengan iklan dan propagandanya, maka akan menjerumuskan pada sejumlah sifat syaithani; riya`, nifaq dan kepura-puraan. Ini yang tak boleh terjadi pada seorang mukmin.
Lebih serius lagi, ketika amal tidak sebanding dengan iklan dan propagandanya, maka akan menjerumuskan pada sejumlah sifat syaithani; riya`, nifaq dan kepura-puraan. Ini yang tak boleh terjadi pada seorang mukmin.
Konsep amal menuntut kita menjadi manusia
yang produktif. Pemaknaan terhadap produktivitas ini tidak sesempit kaum
kapitalis yang mengukurnya dengan capaian materi. Tapi secara prinsip
kita memahami bahwa amal adalah buah dari keimanan, dan secara normatif
kita memahami bahwa produktivitas menunjukkan kualitas keimanan. Maka di
ranah produktivitas ini, sejarah menelurkan ibrahnya kepada kita satu
per satu; Usamah bin Zaid yang memimpin pasukan perang di usia dua
puluhan, Imam Abu Hanifah yang hafal al qur`an di usia sembilan tahun,
atau Imam Syafi`i yang meletakkan dasar-dasar ushul fiqih dan
karya-karya monumental pada bentang umurnya yang hanya mencapai angka
lima puluhan.
Dalam tataran praktisnya, setiap kita bisa merasakan
betapa kekuatan amal sangatlah dipengaruhi sejauh mana kekuatan
hubungan kita dengan pemilik amal itu sendiri, Allah SWT. Saat iman
berada dalam kondisi puncak, niscaya jasad tak akan lelah menuruti
kemauannya. Sebaliknya, saat kualitas ruh sedang terjun bebas, maka
badan sehat nan kuat pun menjadi nirpotensi. Itulah sebabnya Nabi
Muhammad SAW bersabda, dua jenis kenikmatan yang paling banyak
menjerumuskan manusia adalah waktu sehat dan waktu luang. Sebab ketika
dua kenikmatan itu terkumpul menjadi satu, akan bisa sangat mematikan
produktivitas. Bayangkanlah profil seseorang yang beliau gambarkan itu.
Seseorang yang berbadan sehat tapi tidak punya aktivitas. Apa yang
kemudian menari-nari dalam pikirannya? Lalu kita pun menjadi mengerti
mengapa tingginya angka pengangguran selalu berbanding lurus dengan
tingginya angka kriminalitas. Maka, jebakan-jebakan mematikan di
sepanjang medan amal haruslah ditutup rapat.
Ada lagi yang penting. Kita butuh panduan, tahapan atau maratib dalam beramal. Pertama,
agar amal kita menjadi efektif dan produktivitas kita mencapai titik
maksimum. Kita sepenuhnya menyadari bahwa waktu kita sangat terbatas.
Sehingga, salah satu cara mengakali keterbatasan itu adalah dengan
berjamaah dalam manhaj yang jelas. Ini logis saja sebenarnya, tapi
faktanya tak dipahami oleh banyak orang. Ada single fighter,
pemain tunggal yang melenggang sendirian. Untuk satu sampai lima tahun
barangkali bisa bertahan. Tetapi ketika capaian-capaian amal tidak lagi
memakai standar umur manusia, apalah artinya satu dua orang tanpa
jaringan pendukung? Atau ada juga sejumlah orang yang berperilaku mirip,
tapi sejatinya tak pernah satu dalam gerak langkah. Bukan apa-apa,
mereka menegasikan fungsi manhaj, itu saja masalahnya. Jadilah amalnya
menjadi sporadis dan tidak terukur.
Kedua, agar laju amal
kita tidak salah arah. Ini juga sekaligus menghindarkan agar jangan
sampai seorang muslim menemui dirinya dalam kondisi “tidak tahu apa yang
harus dikerjakan”. Faktanya, dalam konteks amal, realitas kehidupan
kita sering memanggungkan lakon ironis, seseorang yang sudah
berlelah-lelah melakukan amal yang banyak, tapi sejatinya tidak berarti
apa-apa dalam konteks membangun peradaban umat. Atau malah ada juga yang
memilih jalan nekat dengan menebar teror dan kekerasan. Akibatnya,
bangunan pencitraan Islam yang sudah susah payah disusun, hancur dalam
sekejap. Dan kita mesti menyusunnya kembali satu persatu.
Konklusinya,
dalam konteks amal, kita tidak saja dituntut berbuat sebanyak mungkin,
tetapi berbuat yang banyak, baik terkoordinir dalam bingkai yang benar
dan menuju arah yang benar pula. Sulit dimengerti? Pastilah tidak bagi
yang sudah memahami makna berjamaah. Wallahu a`lam. (usb/dakwatuna)
0 comments:
Posting Komentar